Reformasi Tata Kelola Sawit Menjadi Keharusan Setelah Amnesti Konflik Lahan Kebun

Reformasi Tata Kelola Sawit Menjadi Keharusan Setelah Amnesti Konflik Lahan Kebun
Dok. Agricom.id

14 July 2023 , 16:14 WIB

AGRICOM, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan, dalam kapasitasnya sebagai Ketua Satuan Tugas (Satgas) Perbaikan Tata Kelola Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara, akhir bulan lalu mengumumkan keputusan pragmatis untuk memberikan pengampunan dan melegalkan 3,3 juta hektar (dari total luas 16,8 juta hektar) "kebun kelapa sawit ilegal" di kawasan hutan yang teridentifikasi dalam audit komprehensif.

Luhut berargumen bahwa melegalkan perkebunan kelapa sawit 'ilegal' dan memasukkannya ke dalam sistem perpajakan dan berada di bawah pengawasan kementerian dan lembaga pemerintah terkait, namun menghukum mereka dengan hukuman administratif yang berat, akan menjadi koreksi yang paling murah dalam hal ketenagakerjaan dan jauh lebih kecil dampaknya dibandingkan dengan risiko moral hazard karena perkebunan tersebut juga melibatkan sejumlah besar petani.

Namun, apapun argumennya, temuan adanya 3,3 juta hektar perkebunan kelapa sawit yang “ilegal’ karena tumpeng tindih dalam kawasan hutan telah memvalidasi persepsi yang selama ini berkembang bahwa betapa buruknya tata kelola publik dan korporasi di sektor sumber daya alam Indonesia, khususnya industri kelapa sawit yang sangat menggiurkan ini.

Sebagai produsen terbesar di dunia dengan sekitar 16,8 juta hektar perkebunan kelapa sawit dan salah satu konsumen terbesar, Indonesia memiliki posisi yang kuat untuk memimpin industri ini dan membentuk pasar global. Selain itu, Indonesia yang kaya akan lahan yang cocok untuk perkebunan kelapa sawit, masih dapat meningkatkan produksi minyak kelapa sawitnya, dan jumlah penduduknya yang lebih dari 270 juta jiwa dan masih terus bertambah, memungkinkan perluasan lebih lanjut dari pasar minyak nabati ini di dalam negeri.

Baca juga : Perbaiki Tata Kelola Kelapa Sawit Indonesia, Sosialisasi Self Reporting Siperibun Berlanjut ke Medan

Aspek biofisik, seperti curah hujan, radiasi matahari, dan kesesuaian tanah dengan luasnya lahan menjadikan Indonesia sebagai tempat terbaik untuk pengembangan kelapa sawit. Sumber daya yang sangat berharga ini, jika dikelola dengan baik dengan tata kelola yang baik dan praktik-praktik pertanian yang baik, dapat menjadi pendorong utama untuk mendorong pembangunan yang berkelanjutan.

Namun, seperti banyak negara berkembang lainnya, Indonesia juga mengalami "kutukan sumber daya" atau situasi paradoksal di mana sebuah negara berkinerja buruk secara ekonomi, meskipun memiliki sumber daya alam yang berharga. Indonesia telah gagal memanfaatkan kekayaan sumber daya alam yang melimpah untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan karena tata kelola pemerintahan yang buruk dan salah urus.

Indonesia kini menghadapi masalah tata kelola yang disebabkan oleh dirinya sendiri dalam industri kelapa sawit, terutama terkait dengan kebijakan yang salah arah di industri pengolahan hulu dan hilir serta intervensi pasar. Kita sekarang menuai apa yang telah ditabur oleh pemerintah dengan serangkaian kebijakan yang penuh emosi. Salah urus sumber daya dan tata kelola pemerintahan yang buruk, terutama korupsi, telah gagal mengoptimalkan manfaat dari pengembangan kelapa sawit.

Baca juga : Sosialisasi SIPERIBUN untuk Optimalkan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit

Terlepas dari perannya yang sangat vital, industri kelapa sawit telah menderita akibat serangkaian kebijakan antipasar yang ketat seperti kuota ekspor, kewajiban pasar domestik, dan harga tetap yang diberlakukan sejak awal tahun 2022 untuk menstabilkan harga minyak goreng di tingkat yang ditetapkan pemerintah setelah harga minyak sawit meroket akibat gangguan besar-besaran pada pasokan minyak nabati global.

Pemerintah bertekad untuk sepenuhnya menerapkan kebijakan pencampuran biodiesel berbasis minyak kelapa sawit sebesar 35 persen pada bulan depan setelah kebijakan ini diperkenalkan pada bulan Februari lalu. Indonesia juga berniat untuk meningkatkan pencampuran biodiesel menjadi 40 persen sebagai upaya untuk mengurangi impor bahan bakar fosil.

Komoditas ini juga relatif murah, serbaguna, dan merupakan minyak nabati terbesar digunakan, memenuhi lebih dari 40 persen permintaan minyak nabati dunia dengan hanya menggunakan kurang dari 6 persen dari seluruh lahan yang didedikasikan untuk memproduksi minyak nabati. Oleh karena itu, makanan dan bahan bakar akan terus bersaing ketat untuk mendapatkan minyak kelapa sawit mentah (CPO).

Baca juga : Pemetaan Sawit Rakyat Semakin Optimal Dengan Inovasi Sawit 4.0

Mengingat struktur industri kelapa sawit yang kompleks dan perannya yang sangat penting dalam perekonomian karena mempekerjakan lebih dari 17 juta pekerja dan melibatkan lebih dari dua juta petani kecil, pemerintah perlu segera mereformasi tata kelola industri kelapa sawit. Tidak ada cara lain untuk mempertahankan manfaat kelapa sawit bagi perekonomian secara keseluruhan selain pemerintah harus memperbaiki kerangka peraturan dan tata kelolanya dengan mengurangi birokrasi dan meminimalisir risiko terkait perubahan kebijakan.

Tanpa koordinasi yang baik, mustahil bagi pemerintah untuk merancang kebijakan pembangunan yang terintegrasi untuk industri yang begitu penting. Ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengubah kutukan sumber daya menjadi berkah dan meningkatkan pengelolaan sumber daya alam untuk kepentingan negara dan rakyat.

Yang pertama dan yang paling penting adalah perlunya pemerintah meningkatkan kapasitas kelembagaan dan kerangka kerja peraturan dalam mengelola kelapa sawit untuk menyediakan sistem pendukung yang koheren.

Gugus Tugas yang ada saat ini dapat ditingkatkan dan dikonsolidasikan menjadi lembaga pemerintah pusat yang kuat dan memiliki wewenang dalam pembuatan kebijakan, pengaturan, pengelolaan perizinan, pelaksanaan program pembangunan, pelaksanaan penelitian dan pengembangan, serta mengkoordinasikan seluruh kegiatan yang berkaitan dengan kelapa sawit dan produk turunannya.

Baca juga : Pemerintah Bersama Bank Dunia Melanjutkan Program SLM-MDTF Dengan Lingkup Yang Lebih Luas

Lembaga baru ini akan mengkoordinasikan semua lembaga pemerintah yang terkait dengan kelapa sawit, baik di tingkat pusat maupun daerah, dengan menyempurnakan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) yang ada saat ini, yang mengelola semua kegiatan yang terkait dengan kelapa sawit di satu tempat.

Kedua, pemerintah harus meluncurkan sebuah standar yang komprehensif untuk produksi, perdagangan, dan penggunaan minyak kelapa sawit dengan menyelaraskan prinsip-prinsip keberlanjutan dan etika di seluruh rantai pasok minyak kelapa sawit. Standar ini didasarkan pada SDGs yang telah diterima secara global, tata kelola yang baik, dan menyeimbangkan tindakan pelestarian lingkungan dengan pembangunan ekonomi yang bertanggung jawab.

Pemerintah saat ini berencana untuk merevisi Peraturan Presiden No. 44/2020 tentang ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) agar dapat menghadapi tantangan saat ini dan di masa depan, seperti penerimaan pasar, EUDR, dan isu-isu LST lainnya. EUDR akan membuat standar keberlanjutan lainnya menjadi kurang relevan. Jadi sekarang adalah saat yang tepat untuk menyesuaikan diri dengan pergeseran keseimbangan tersebut.

Terakhir, Indonesia harus bekerja keras untuk membersihkan citra korupsi yang tercoreng dan menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif untuk tata kelola perusahaan yang baik.

Dorongan anti-korupsi yang kuat dan perbaikan tata kelola publik dan korporat di industri kelapa sawit akan semakin memacu mesin pertumbuhan ekonomi untuk mendorong negara ini menuju kemakmuran.

Penulis : Edi Suhardi / Analis Minyak Sawit Berkelanjutan

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS.


TOP