Investasi Minim, Regulasi Kompleks, Industri Kayu Kehilangan Daya Saing


AGRICOM, JAKARTA – Industri kayu Indonesia tengah menghadapi tantangan serius. Regulasi yang dianggap membosankan, minimnya investasi, serta isu deforestasi membuat sektor ini kian terpuruk. Hal itu mengemuka dalam diskusi publik Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bertajuk “Ketelusuran Industri Kayu Indonesia: Tantangan dan Solusi” di Jakarta, Senin (8/8).

Prof Sudarsono Sudomo, pakar kehutanan dari IPB, menilai regulasi di sektor kayu cenderung menimbulkan beban biaya dibandingkan manfaat nyata, khususnya bagi pelaku di lapangan. Ia mencontohkan penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang menurutnya tidak memberikan dampak signifikan bagi petani.

“Setiap aturan hampir pasti menimbulkan biaya . Kalau manfaatnya lebih besar dari beban, tentu bisa diterima. Tapi pada kenyataannya, aturan seringkali lebih mahal daripada manfaatnya. Rata-rata petani hanya mengurus SVLK kalau ada yang membantu, bahkan banyak yang tidak tahu di mana sertifikatnya,” ujar Sudarsono, dalam acara yang melibatkan Agricom.id .

BACA JUGA: 

- Wali Kota Sabang Susun Qanun Kakao untuk Perkuat Ekonomi Daerah

- Pemetaan Lokasi Tanam, Lapas Wahai Siap Sukseskan Program Penanaman Kelapa Serentak

Ia juga menegaskan bahwa pengusahaan hutan alam bukan penyebab utama deforestasi. Menurutnya, deforestasi lebih sering dikaitkan dengan alih fungsi lahan untuk tujuan lain. “Hutan alam itu terbarukan secara biologi, tapi belum tentu secara finansial. Kalau dikelola, hutan bisa pulih. Maksudnya ada pada insentif ekonomi dan investasi yang sangat kecil dibandingkan sektor perkebunan atau perikanan,” tambahnya.

Data yang dipaparkan menunjukkan tren penurunan tajam. Sejak tahun 1990 hingga 2023, jumlah perusahaan, luas areal, dan produksi kayu terus menurun. Dari sekitar 600 unit usaha di hutan alam, kini hanya tersisa 250-an perusahaan aktif. Investasi di sektor kehutanan pun sangat kecil, jauh di bawah sektor perkebunan maupun perikanan.

“Tanpa investasi, kehutanan industri akan berhenti. Saat ini investasi PMDN di sektor ini sangat rendah, hanya menghasilkan sekitar 1.500 tenaga kerja per Rp1 triliun. Padahal investasi penting untuk menjaga kemiskinan kapital,” tegas Sudarsono.

Dalam kesempatan yang sama, pengamat kehutanan Petrus Gunarso, Ph.D. menyoroti permasalahan ketelusuran kayu (ketertelusuran) yang sering disebut LSM internasional. Menurutnya, isu deforestasi sering kali dipahami berbeda. “Kalau dari hutan alam jadi hutan tanaman, apakah itu deforestasi? Bagi WWF ya. Padahal secara produksi, hutan tanaman justru bisa lebih cepat tumbuh, misalnya eukaliptus yang dalam enam tahun sudah bisa dipanen,” jelasnya.

Petrus juga mengkritisi pemberitaan internasional yang dianggap memperbesar-besarkan persoalan kayu asal Indonesia. “Yang diekspor ke Amerika kebanyakan justru kayu sisa (IPK) dari pembukaan lahan HTI. Itu legal, tapi dibingkai seolah-olah pembalakan pembohong besar-besaran,” katanya.

Dari sisi ekonomi, Pengamat Ekonomi Celios (Pusat Studi Ekonomi dan Hukum) Nailul Huda menyampaikan bahwa sektor kehutanan dan kayu kini masuk kategori industri sunset. Kontribusinya terhadap PDB turun dari 0,7 persen menjadi hanya 0,36 persen.

“Kontribusi investasi domestik di sektor kehutanan hanya sekitar 1 persen, sementara asing hanya 0,02 persen. Ini menunjukkan rendahnya minat investasi. Padahal jika dikelola optimal, sektor kayu bisa jadi pengungkit ekonomi,” ungkap Huda.

Huda menambahkan bahwa meskipun produksi kayu tumbuh, industri pengolahan seperti gergajian dan kayu lapis justru menurun. Kinerja ekspor pun melemah dalam empat tahun terakhir, meski sempat naik dalam satu dekade terakhir.

Diskusi ini menekankan perlunya reformasi regulasi, peningkatan investasi, serta strategi baru dalam menjaga hutan. Para narasumber sepakat bahwa kebijakan yang ada saat ini lebih banyak melayani kebutuhan birokrasi dibandingkan kepentingan bisnis dan kesejahteraan masyarakat.

“Jika hutan bisa memberi kesejahteraan, maka hutan itu akan dilestarikan. Yang kita perlukan adalah aturan yang tepat guna, bukan aturan yang justru mematikan industri,” pungkas Prof. Sudarsono. (A3)

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS.


TOP