AGRICOM, JAKARTA - Perkebunan kelapa sawit yang berhasil berkembang turut membangun daerah pedesaan, memberikan manfaat sosial-ekonomi yang berkesinambungan. Dengan fokus pada pembangunan berkelanjutan, pertumbuhan ini tidak hanya mendukung kesejahteraan perusahaan, tetapi juga menciptakan fondasi ekonomi yang kokoh bagi masyarakat sekitar.
Sebagai bagian dari visi pembangunan yang inklusif, pengelolaan perkebunan kelapa sawit akan terus dilakukan dengan mengutamakan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Keberlanjutan bisnis sawit yang bersinergi dengan masyarakat menjadi komitmen dalam mendukung perekonomian pedesaan yang lebih baik dan lebih sejahtera.
Dedi Junaedi, Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPPI), mengungkapkan pentingnya kolaborasi berbagai pihak untuk memajukan sektor kelapa sawit dan mendukung kesejahteraan petani, khususnya di daerah transmigrasi, serta menekankan peran sawit sebagai pendorong ekonomi regional yang signifikan.
Dedi menjelaskan bahwa sektor kelapa sawit telah menjadi salah satu sumber utama pendapatan dan lapangan pekerjaan di banyak wilayah, serta penghasil devisa terbesar kedua setelah batu bara. Namun, di balik potensi ekonominya, industri sawit menghadapi tantangan dalam hal produktivitas, legalitas, dan ketahanan energi. Pemerintah saat ini berupaya memperkuat sektor ini melalui penerapan program biodiesel B50 serta mendukung peremajaan sawit rakyat.
BACA JUGA: Wamendag Dyah Roro Esti Terima Kunjungan Komisioner Uni Eropa untuk Pertanian
Menurut Dedi, salah satu kendala utama yang dihadapi petani sawit swadaya adalah kurangnya akses terhadap benih unggul dan sarana budidaya yang berkelanjutan. “Kualitas bibit sangat memengaruhi hasil panen, dan sayangnya banyak petani yang menggunakan bibit aspal atau kurang berkualitas,” ujarnya, saat membuka acara FGD SAWIT BERKELANJUTAN VOL 16, bertajuk “Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Menumbuhkan Ekonomi Masyarakat Perdesaan”, yang diadakan media InfoSAWIT yang didukung BPDPKS, Jumat (1/11/2024) di Jakarta yang dihadiri Agricom.id.
Ia juga menekankan bahwa investasi awal yang tinggi pada perkebunan sawit dapat menjadi beban bagi petani sawit, terutama jika benih yang ditanam tidak produktif.
GPPI juga mendorong sertifikasi berkelanjutan seperti RSPO dan ISPO sebagai standar untuk memasuki pasar ekspor dan menjamin harga jual yang lebih baik. Namun, tantangan pendanaan masih menghambat petani swadaya untuk memenuhi standar sertifikasi tersebut. Dedi menyatakan, “Saat ini pendampingan dari pemerintah sangat penting untuk memperkuat kelembagaan dan membekali petani dengan pengetahuan serta praktik budidaya terbaik.”
BACA JUGA: Kementan Jajaki Peluang Investasi Strategis di Forum Bisnis Agri-Pangan Uni Eropa-Indonesia
Selain itu, GPPI mendorong pembentukan kelembagaan koperasi di kalangan petani sawit agar mereka dapat memiliki posisi tawar yang lebih baik dalam menjual hasil panen. "Petani sawit swadaya perlu naik kelas, bukan hanya sebagai penjual tandan buah segar, tapi juga harus mampu menghasilkan produk olahan sawit yang memiliki nilai tambah," tambah Dedi.
Kedepan GPPI berencana mempercepat pelaksanaan program sertifikasi karbon untuk perkebunan sawit, yang diharapkan akan mendukung target pemerintah dalam pengurangan emisi karbon nasional. Dedi menutup pernyataannya dengan menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah, serta seluruh pemangku kepentingan untuk memastikan keberlanjutan sektor sawit. GPPI berharap upaya ini akan meningkatkan kesejahteraan petani sawit dan menjadikan kelapa sawit Indonesia sebagai komoditas unggulan yang berdaya saing global. (A3)