Oleh: Ignatius Ery Kurniawan
AGRICOM, JAKARTA - Keberadaan spekulan dan perantara (middleman) kerap menjadi ancaman bagi harga jual pangan. Namun, spekulan dan middleman kerap menjadi bagian dari mata rantai bisnis produk pangan di Indonesia. Lantaran, keberadaan produksi pangan yang sebagian besar berada di daerah pelosok, membutuhkan akses dan informasi akurat akan keberadaan pasar domestik sebagai pembelinya.
Diakui atau tidak, keberadaan spekulan memang menjadi bagian tak terpisahkan pada mata rantai perdagangan berbagai produk pangan. Spekulan yang kerap berada hingga lokasi tapak, sering menjadi harapan bagi petani yang membutuhkan banyak dukungan guna melakukan usaha budidayanya.
Seringkali pula, para spekulan ini, kemudian berubah wujud menjadi tengkulak yang menawarkan berbagai jasa, dari jasa pinjaman uang hingga jasa pembeli yang akan membayar hasil panen petani. Kebanyakan, kesepakatan jual beli dilakukan petani sejak awal melakukan proses budidayanya. Alhasil, keberadaan hasil panennya, kerap sudah tergadaikan kepada pihak lainnya.
Transformasi sepekulan, tengkulak hingga middleman ini memang tak terlepas dari sejarah perdagangan dunia. Hampir di seluruh mata rantai perdagangan dunia, termasuk komoditas pangan, terdapat keberadaannya. Di Indonesia sendiri, keberadaan middleman apabila ditelusuri sejak kedatangan orang etnis Tionghoa pada abad ke 16.
Merujuk pada literasi bebas, bermula pada abad ke 9, kedatangan orang Tionghoa ke Nusantara (Indonesia) selama Dinasti Tang (618- 907 Masehi). Kedatangan mereka pertama kali dengan mendarat di Palembang, sebagai pusat perdagangan Kerajaan Sriwijaya. Kemudian menjelajahi Pulau Jawa untuk mencari rempah-rempah dan akhirnya menetap.
Peranan middleman sebagai pedagang perantara menjadi tetap dominan pada masa kedatangan bangsa Eropa dan masa VOC (Belanda). Keberadaan etnis Tionghoa, banyak menjadi perantaran para pengusaha VOC dengan para penguasa pribumi dan para pengusaha pribumi. Bahkan, keberadaan mereka juga banyak yang bekerja sebagai buruh di perkebunan-perkebunan yang dikelola oleh pemodal VOC.
Merujuk Ricklefs dalam Buku Sejarah Indonesia Modern (1993) dijelaskan mengenai sejarah orang-orang Tionghoa yang sudah ada di indonesi sebagai pedagang selama berabad-abad. Bahkan sejak Tahun 1619, mereka sudah menjadi suatu bagian penting dari perekonomian Batavia. Dapat dikatakan, melalui kehadiran VOC di Indonesia waktu itu, maka memperkuat motif ekonomi perdagangan etnis Tionghoa dalam menggeluti perdagangan perantara dan aktivitas perdagangan lainnya.
Tak dapat diingkari, kehadiran spekulan dan middleman di Indonesia merupakan bagian dari sejarah perdagangan itu sendiri. Selain itu, keberadaan mereka membutuhkan kemandirian ekonomi dalam menghubungkan kebutuhan pasar dan pasokan yang berasal dari Indonesia. Sebab itu, dibutuhkan kearifan Spekulan dan Middleman dalam perdagangan produk pangan di Indonesia, tidak semata melihat keuntungan material tetapi turut serta membangun kualitas dan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara berkelanjutan. Semoga. (A1)