AGRICOM, JAKARTA — Tahun 2026 sepertinya akan menjadi momentum penting bagi industri kelapa sawit Indonesia. Setelah melewati tiga tahun penuh gejolak akibat tekanan harga pupuk, kebijakan ekspor, dan dinamika energi global, sektor ini kini menapaki jalan baru menuju pertumbuhan yang lebih stabil dan berkelanjutan.
Berbagai indikator menunjukkan tren positif: produksi meningkat, cuaca kembali normal, dan permintaan domestik tetap kuat. Namun dibalik optimisme tersebut, tantangan struktural masih mengintai — mulai dari kebijakan biodiesel yang ambisius, perlambatan penanaman kembali, hingga regulasi yang dapat menggerus daya saing industri sawit nasional.
Produksi Kembali Meningkat di Tengah Cuaca Normal
Data USDA (2025) menggambarkan produksi minyak sawit Indonesia pada tahun 2025/2026 akan meningkat sekitar 3 persen menjadi 47 juta metrik ton. Peningkatan ini didorong oleh dua faktor utama: kondisi cuaca yang normal dan ketersediaan pupuk yang membaik.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melaporkan bahwa fenomena La Niña yang sempat menurunkan produksi sawit pada tahun 2023–2024 telah berakhir pada bulan Maret 2025. Tahun ini, Indonesia akan memasuki fase netral ENSO dan Indian Ocean Dipole (IOD), yang berarti distribusi hujan dan suhu relatif stabil. Dalam kondisi seperti ini, pemupukan menjadi lebih efektif dan level Fruit Set cenderung meningkat.
Selain faktor iklim, turunnya harga pupuk hingga 59 persen dibandingkan puncaknya pada 2022 memberikan napas segar bagi petani. Perawatan kebun kembali intensif, terutama di wilayah Sumatera bagian selatan dan Kalimantan Tengah, di mana tingkat produktivitas sempat turun akibat efisiensi biaya pasca pandemi.
BACA JUGA: Harga CPO KPBN INACOM Turun Tipis, Bursa Malaysia Masih Lesu Pada Kamis (30/10)
Namun luas lahan sawit nasional diperkirakan tetap stabil di angka 14,4 juta hektar. Peningkatan produksi lebih banyak bersumber dari perbaikan produktivitas, bukan perluasan lahan. Artinya, kenaikan output akan sangat bergantung pada efektivitas pengelolaan kebun, penggunaan benih unggul, serta program peremajaan (penanaman kembali).
Produktivitas: Kunci Daya Saing yang Belum Merata
Meski produksi meningkat, kesenjangan produktivitas antara perkebunan besar dan petani rakyat masih menganga. Petani kecil, yang mengelola 41 persen dari total perkebunan sawit nasional, rata-rata hanya menghasilkan 3,2 ton CPO per hektare, jauh di bawah perusahaan besar yang mencapai 4,5 ton (World Bank, 2023).
Program peremajaan sawit rakyat (PSR) seharusnya menjadi motor peningkatan produktivitas. Pemerintah sudah menaikkan bantuan PSR dari Rp30 juta menjadi Rp60 juta per hektare sejak 2024, namun pelaksanaannya belum optimal. Masalah klasik seperti legalitas lahan, akses pembiayaan, dan lambatnya verifikasi lapangan masih menjadi hambatan utama.
Padahal, keberhasilan PSR akan menentukan masa depan industri sawit. Tanpa peremajaan yang masif, Indonesia berisiko menghadapi stagnasi produksi dalam lima tahun ke depan, sementara tekanan dari permintaan biodiesel dan pangan terus meningkat.
Harga CPO Stabil, Tapi Margin Menyempit
Dari sisi harga, prospek 2026 relatif stabil. Kenanga Research memperkirakan harga CPO berada di kisaran RM4.000–RM4.500 per ton, dengan rata-rata RM4.000 untuk tahun depan. Harga ini masih cukup menguntungkan, terutama bagi produsen dengan efisiensi tinggi.
Namun, stabilitas harga global tidak serta merta berarti keuntungan besar di tingkat produsen. Biaya logistik yang masih tinggi, fluktuasi nilai tukar, serta beban pungutan ekspor untuk membiayai program biodiesel membuat margin industri terus menyempit.
Di sisi lain, harga yang relatif tinggi mendorong pemerintah untuk memperkuat program biodiesel. Mandatori B40 resmi diberlakukan pada Maret 2025, dan target B50 sedang disiapkan untuk 2026.
Kebijakan Biodiesel: Antara Ambisi dan Realitas Fiskal
Kebijakan biodiesel memang menjadi simbol kemandirian energi Indonesia. Namun, keberlanjutan program ini sangat tergantung pada kemampuan fiskal pemerintah. Tahun 2025, subsidi biodiesel yang disalurkan melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP) mencapai Rp35 triliun — naik 25 persen dibanding tahun sebelumnya.
Dana tersebut sepenuhnya berasal dari pungutan ekspor sawit. Namun, ketika ekspor menurun akibat pembatasan global, dana levy otomatis berkurang. Inilah paradoksnya: semakin besar kebutuhan biodiesel domestik, semakin berat beban fiskal yang harus ditanggung industri.
Jika pemerintah tetap memaksakan implementasi B50 tanpa memperhitungkan neraca fiskal dan kapasitas pasokan, maka subsidi akan membengkak dan menekan likuiditas BPDP. Dampaknya bisa berantai: keterlambatan pembayaran subsidi ke produsen biodiesel, gangguan suplai ke pasar domestik, dan tekanan terhadap harga CPO di tingkat petani.
Solusinya bukan membatalkan program biodiesel, melainkan memperkuat tata kelola pendanaannya. Pemerintah perlu menata ulang formula levy ekspor agar lebih fleksibel terhadap pergerakan harga global, serta memperluas sumber pendanaan dengan melibatkan skema carbon credit atau green bond untuk energi terbarukan.
DMO dan Harga Minyak Goreng: Distorsi Pasar yang Berulang
Selain biodiesel, kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) untuk minyak goreng juga menjadi perhatian utama. Program Minyakita yang bertujuan menjaga keterjangkauan harga pangan rakyat justru menghadirkan dilema klasik antara stabilitas harga dan efisiensi pasar.
Meski harga eceran tertinggi (HET) sudah dinaikkan menjadi Rp15.700 per liter pada Agustus 2024, harga riil di lapangan masih lebih tinggi 10–18 persen. Ini menunjukkan lemahnya sistem distribusi dan pengawasan. Banyak pelaku usaha mengeluhkan praktik pasar bayangan seperti pengemasan ulang, bundling produk, dan spekulasi stok.
DMO memang dilandasi niat baik, tetapi tanpa digitalisasi rantai pasok dan transparansi data stok, kebijakan ini hanya akan memperlebar jurang antara harga pasar dan harga resmi.
Solusi jangka panjangnya adalah penerapan floating price mechanism untuk minyak goreng domestik, di mana harga disesuaikan secara periodik dengan fluktuasi pasar dunia. Pemerintah tetap bisa memberikan subsidi selektif bagi rumah tangga miskin melalui sistem smart card pangan, bukan melalui distorsi harga di seluruh pasar.
Kebijakan yang Tidak Ramah Investasi
Ketidakpastian kebijakan juga menjadi faktor penghambat terbesar investasi baru di sektor sawit. Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 2025 yang memperluas sanksi administratif dan pidana bagi pelanggaran tata kelola lahan memunculkan kekhawatiran serius di kalangan investor.
Definisi pelanggaran yang belum jelas dan mekanisme banding yang belum transparan membuat risiko hukum meningkat. Kondisi ini diperburuk oleh praktik penyitaan lahan oleh BUMN Agrinas atas nama optimalisasi aset negara. Bagi investor, langkah seperti ini menimbulkan kesan bahwa negara kembali ke pola intervensi yang tidak ramah bisnis.
Jika situasi ini dibiarkan, industri sawit bisa kehilangan daya tariknya. Dalam iklim bisnis global yang semakin menuntut kepastian dan kepatuhan ESG (Environmental, Social, Governance), investor akan mudah mengalihkan modalnya ke sektor agribisnis lain yang lebih stabil dan transparan.
Peluang Ekspor dan Diplomasi Sawit
Di tengah tekanan domestik, kabar baik datang dari pasar global. Kesepakatan Indonesia–EU Comprehensive Economic Partnership Agreement (EU-CEPA) yang dijadwalkan mulai berlaku pada pertengahan 2026 berpotensi membuka kembali pasar Eropa bagi produk sawit berkelanjutan Indonesia.
EU-CEPA tidak hanya memberikan preferensi tarif, tetapi juga pengakuan terhadap sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai sistem yang ekuivalen dengan standar keberlanjutan Uni Eropa. Ini merupakan terobosan diplomasi ekonomi yang harus dimanfaatkan secara maksimal.
Selain Eropa, peluang ekspor juga muncul di pasar Amerika Serikat. Kembalinya tarif tinggi terhadap minyak nabati dari Tiongkok dan Amerika Latin menciptakan ruang bagi produk sawit Indonesia, terutama untuk industri oleokimia dan pangan olahan.
Namun, semua peluang itu hanya bisa dimanfaatkan bila Indonesia mampu menjaga stabilitas pasokan dan harga domestik. Kebijakan biodiesel dan DMO yang tidak terukur justru dapat memotong potensi ekspor di saat pasar sedang terbuka.
Rekomendasi Reformasi Kebijakan Sawit 2026
Untuk menghindari jebakan stagnasi dan menjaga posisi Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia, sejumlah langkah strategi perlu segera diambil:
- Reformasi Tata Kelola Fiskal Sawit.
BPDP perlu menerapkan transparansi penuh dalam pengelolaan dana CPO Fund. Pembagian dana harus proporsional antara dukungan biodiesel, penanaman kembali petani kecil, dan penelitian inovasi benih unggul. - Evaluasi PP Nomor 45 Tahun 2025.
Pemerintah perlu memperjelas definisi pelanggaran dan memperkuat mekanisme banding agar tidak menimbulkan ancaman hukum bagi investor dan pelaku usaha. - Transformasi DMO Skema Pasar Cerdas.
Terapkan harga fleksibel dengan subsidi langsung kepada kelompok rentan melalui sistem digitalisasi pangan, bukan dengan membatasi harga di seluruh rantai pasok. - Percepatan Replanting dan Akses Pembiayaan Petani.
Dorong perbankan nasional untuk memperluas pembiayaan ramah lingkungan dengan jaminan pemerintah, agar petani rakyat dapat melakukan penanaman kembali tanpa terkendala legalitas administratif. - Konsolidasi Diplomasi Sawit Global.
Jadikan EU-CEPA dan forum G20 sebagai platform utama promosi sawit berkelanjutan, sekaligus memperkuat pengakuan ISPO di pasar internasional.
Industri sawit telah membuktikan ketahanannya dalam berbagai krisis. Namun, untuk bertahan di era transisi energi dan ekonomi hijau, sektor ini harus berani melakukan reformasi struktural.
Sawit bukan hanya soal produksi dan ekspor, tapi juga soal tata kelola, keadilan ekonomi, dan kepunahan lingkungan. Dengan arah kebijakan yang konsisten, transparan, dan berpihak pada produktivitas petani kecil, Indonesia tidak hanya akan mempertahankan statusnya sebagai raksasa sawit dunia — tetapi juga mewujudkan fondasi ekonomi hijau yang inklusif dan berdaya saing di panggung global. (*)
Penulis: Edi Suhardi / Analis Sawit Berkelanjutan dan Ketua Bidang Kampanye Positif GAPKI