Petani sawit dari empat kabupaten di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur menggugat PP 45/2025 ke Mahkamah Agung, menolak denda hingga Rp 45 juta/ha dan pemasangan rencana penyertaan oleh Satgas PKH. Foto: Istimewa
AGRICOM, JAKARTA — Penolakan terhadap PP 45/2025 meluas dengan cepat di berbagai daerah. Petani menilai kebijakan tersebut tidak berpihak pada masyarakat kecil dan berpotensi memperparah konflik agraria. Temuan di lapangan tampak sudah adanya praktik pemasangan rencana penerimaan di kebun rakyat yang sebelumnya memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM).
Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) bersama perwakilan ribuan petani sawit skala kecil dari empat kabupaten di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur resmi mengajukan Permohonan Uji Materiil (Judicial Review) terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2025 ke Mahkamah Agung (MA), Jumat (28/11).
BACA JUGA:
- Harga TBS Sawit Sumut Turun menjadi Rp 3.425/kg pada Periode 26 November–2 Desember 2025
Gugatan ini merupakan bentuk penolakan tegas terhadap aturan yang dinilai menekan petani kecil melalui sanksi administrasi hingga Rp 45 juta per hektare serta ancaman penyitaan lahan oleh Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH).
“PP 45/2025 merupakan regulasi pemerintah yang mengatur penertiban kawasan hutan dan menjadi dasar pembentukan Satgas PKH,” jelas Salah seorang perwakilan petani dari Kabupaten Kapuas Hulu, Edi Sabirin dalam keterangan tertulis kepada Agricom.id , Sabtu (29/11).
Edi menyebutkan, sedikitnya 600 petani di Kecamatan Silat Hilir terdampak langsung. Sebagian besar lahan mereka—sekitar 1.600 hektar—diklaim sebagai kawasan hutan dan diajukan rencana penerimaan oleh Satgas.
"Moral dan mental kami terganggu. Lebih dari 600 keluarga terancam kehilangan mata pencaharian. Kami berharap negara melihat masalah ini dengan serius," ujarnya.
BACA JUGA:
- SPKS Minta Menkeu Purbaya Hapus Pajak dan Pungutan Ekspor Sawit demi 3,5 Juta Petani
Keluhan serupa datang dari Rafi, petani sawit Desa Jone, Kabupaten Paser. Ia menjelaskan bahwa ribuan petani yang telah mengelola kebun sawit sejak 1995 kini mampu menangani ancaman tanpa komunikasi dan pemahaman yang memadai.
Ketua Umum SPKS, Sabarudin, yang mendampingi dalam gugatan tersebut, menilai bahwa PP 45/2025 beserta aktivitas Satgas PKH menciptakan ketakutan luas di tengah masyarakat.
“Sanksi Rp 45 juta per hektare itu tidak masuk akal bagi petani yang rata-rata hanya mengelola 1–5 hektare. Penerapan aturan ini akan memiskinkan petani,” ujarnya. Ia berharap MA mengabulkan gugatan dan membatalkan aturan tersebut.
“Kami berharap MA dan Presiden Prabowo melihat bahwa masyarakat di Sumatera, Kalimantan, hingga Sulawesi sudah resah akibat pemasangan rencana Satgas PKH,” tambahnya.
Kuasa hukum petani, Gunawan, menilai pemerintah seharusnya tidak hanya mengandalkan Satgas PKH, tetapi juga mengaktifkan mekanisme Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH) melalui Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA). Mekanisme itu, menurutnya, jauh lebih komprehensif dan berpihak kepada rakyat.
“Jika PPTKH dijalankan sebagaimana mestinya, konflik agraria dapat ditekan. Sawit rakyat pun bisa berkembang tanpa hambatan,” jelasnya.
Gunawan juga menyoroti perbedaan antara pernyataan Satgas PKH dan kondisi di lapangan.
“Mereka bilang petani kecil tidak termasuk objek denda dan penyertaan. Namun kenyataannya, lahan petani dipasangi plang dan terancam diambil alih oleh Satgas PKH maupun pihak yang mengaku-ngaku,” ungkapnya.
Melalui gugatan ini, SPKS dan para petani berharap Mahkamah Agung membatalkan PP 45/2025, menghapus sanksi denda, serta menghentikan praktik penyertaan lahan rakyat.
“Dengan begitu, petani bisa kembali mengelola lahannya secara tenang, adil, dan berkelanjutan,” tutup Sabarudin. (A3)