Pelaku Industri Sawit Tepis Isu Pekerja Anak, Perkuat Program Perlindungan Perempuan

Pelaku Industri Sawit Tepis Isu Pekerja Anak, Perkuat Program Perlindungan Perempuan
Agricom.id

02 December 2025 , 22:36 WIB

Kementerian Pertanian, GAPKI, BRIN, dan Solidaridad menegaskan komitmen bersama membangun industri sawit yang lebih aman, inklusif, dan ramah perempuan serta anak, dalam acara Diskusi Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) di Gedung C Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa, 2 Desember 2025. Foto: Agricom

 

AGRICOM, JAKARTA — Pelaku industri sawit menegaskan komitmen yang semakin kuat terhadap perlindungan hak anak dan pekerja perempuan sebagai bagian integral dari praktik sawit berkelanjutan. Berbagai fasilitas kini telah tersedia di perkebunan besar, mulai dari ruang laktasi, layanan kesehatan, fasilitas pendidikan anak usia dini, hingga Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan (RP3).

Kehadiran fitur ini menandai semakin matangnya upaya sawit membangun lingkungan kerja yang aman, ramah anak, dan inklusif bagi perempuan.

Isu tersebut menjadi sorotan utama dalam Diskusi Rutin Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) di Gedung C Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (2 Desember 2025). Diskusi menghadirkan sejumlah pemangku kepentingan, antara lain Direktur Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma Kementerian Pertanian Baginda Siagian, Peneliti Utama BRIN Delima Hasri Azahari, Pengurus GAPKI Kompartemen Pekerja Perempuan dan Perlindungan Anak Marja Yulianti, serta Kepala Pengembangan Program Solidaridad Indonesia Edy Dwi Hartono.

BACA JUGA: 

- Harga Referensi CPO Turun 3,9 persen, Pemerintah Sesuaikan Bea Keluar dan Pungutan Ekspor Desember 2025

- Harga CPO KPBN Menguat Tipis, Namun Bursa Malaysia Melemah Pada Senin (1/12)

 

ISPO Jadi Penentu Mutu dan Akses Pasar

Baginda menjelaskan bahwa Permentan 33/2025 menjadi kerangka hukum baru yang memperketat implementasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) . Peraturan ini mewajibkan perusahaan memenuhi 5 kriteria dan 36 indikator ketenagakerjaan , termasuk kesetaraan gender, perlindungan pekerja, dan larangan absolut pekerja anak.

“Seluruh kegiatan perusahaan kini diukur kontribusinya terhadap 17 tujuan SDGs. Tidak boleh ada pekerja anak, dan penerapan kesetaraan gender menjadi syarat wajib,” tegasnya, dalam acara yang diikuti Agricom.id .

Menurut Baginda, Bappenas juga akan menilai penilaian pembangunan nasional dengan memenuhi standar SDGs, sehingga keinginan perusahaan akan langsung berdampak pada audit ISPO.

BACA JUGA: HR dan HPE Biji Kakao Turun pada Desember 2025, Sedangkan Sektor Kayu Alami Kenaikan

 

Dampak Besar bagi Ekonomi dan Kesejahteraan

Dengan ekosistem yang luas, sektor sawit menyerap 9,6 juta pekerja langsung serta 7–8 juta pekerja tidak langsung. Jika dihitung dengan anggota keluarga, sedikitnya 50 juta jiwa bergantung pada sektor ini.

“Sawit juga menyumbang 3,5% terhadap PDB dan menjadi penopang ketahanan energi melalui program B40 dan rencana B50 pada tahun depan,” ujarnya.
Baginda mengingatkan bahwa bila standar keberlanjutan tidak terpenuhi, risiko tekanan terhadap ekspor akan semakin besar.

 

Tantangan Lapangan Masih Muncul

Meski sektor korporasi besar dinilai sudah memenuhi standar keberlanjutan, Baginda mengakui masih banyak tantangan yang muncul di perusahaan menengah, kecil, dan perkebunan rakyat. Beberapa di antaranya adalah ketimpangan upah, alat pelindung diri yang belum memadai, serta minimnya fasilitas penitipan anak dan akses layanan kesehatan.

Ia menyoroti banyak kasus misinterpretasi terkait pekerja anak. Menurutnya, banyak anak yang sebenarnya hanya menemani orang tua sepulang sekolah, namun dokumentasi visual sering digunakan sebagai bukti adanya pekerja anak.

“Perusahaan tetap dilarang mempekerjakan anak dalam bentuk apa pun. Jika terbukti, mereka gagal dalam audit ISPO,” jelasnya.

BACA JUGA: GAPKI: Produksi Sawit Anjlok 22%, Ekspor Turun Tajam di September 2025

 

Perspektif Akademisi: Temuan Harus Dilihat Secara Cermat

Peneliti Utama BRIN, Delima Hasri Azahari, mengingatkan bahwa temuan pekerja anak yang beredar di publik seringkali disimpulkan tanpa verifikasi.
“Anak-anak di kebun sering hanya bermain atau menunggu orang tuanya, tapi dianggap bekerja. Penilaian harus sangat hati-hati,” ujarnya.

Delima juga mendorong peningkatan kualitas fasilitas dasar seperti klinik kebun 24 jam, sanitasi yang lebih baik, serta audit yang lebih ketat. Menurutnya, kerangka hukum sebenarnya sudah kuat, namun pelaksanaan di lapangan perlu terus diperbaiki.

 

GAPKI: Upah Setara dan Tuduhan Anak Bekerja Kerap Tidak Akurat

Marja Yulianti dari GAPKI menegaskan bahwa 758 perusahaan anggota telah menjalankan berbagai program perlindungan pekerja—mulai dari pelatihan K3, PAUD, posyandu, hingga RP3. Ia juga meluruskan isu yang menyebut perempuan dibayar lebih rendah.

“Jika berstatus karyawan tetap, standar upahnya sama. Perbedaan biasanya muncul karena pilihan jam kerja,” jelasnya.

Marja menilai tuduhan pekerja anak seringkali tidak berdasar dan berkembang menjadi kampanye hitam.
“Banyak dokumentasi anak di kebun sebenarnya tidak menunjukkan anak bekerja. Sekitar 69% perusahaan kami sudah tersertifikasi ISPO—ini bukti bahwa perlindungan perempuan dan anak semakin kuat,” tegasnya.

 

Pemberdayaan Perempuan, Strategi Kunci Akhiri Pekerja Anak

Kepala Pengembangan Program Solidaridad Indonesia, Edy Dwi Hartono, menyatakan bahwa pemberdayaan perempuan merupakan strategi paling efektif dalam memutus rantai pekerja anak di sektor sawit.

Temuan UNICEF (2016) dan PAACLA Indonesia (2024) menunjukkan bahwa formalisasi status pekerja perempuan —dari harian lepas menjadi pekerja berkontrak—mengurangi risiko anak-anak masuk dunia kerja. Akses terhadap upah pasti, perlindungan maternitas, dan fasilitas pengasuhan terbukti lebih efektif dibandingkan hanya mengandalkan larangan dan sanksi.

“Ketika perempuan memiliki akses yang setara terhadap sumber daya dan hak, stabilitas ekonomi keluarga meningkat, dan risiko pekerja anak turun secara signifikan,” ucap Edy. (A3)

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS.


TOP