Agricom.id, JAKARTA - Kantor pusat Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) di Thamrin City, Jakarta menjadi saksi momen bersejarah ketika rombongan Duta Besar Uni Eropa (UE), Vincent Piket, yang didampingi Konselor Pertama untuk Lingkungan dan Aksi Iklim, Henriette Faegermann, berkunjung pada hari Jumat, 10 Februari 2023. Pemerintah UE secara khusus mengunjungi APKASINDO untuk menjelaskan undang-undang deforestasi dalam mengklarifikasi isu pelarangan eksport sawit Indonesia ke EU (10/1).
Rombongan yamg diterima langsung oleh Ketua Umum APKASINDO, Dr. Ir. Gulat Manurung, MP.,C.IMA.,C.APO, Sekretaris Jenderal, Dr cn Rino Afrino, ST,MM, anggota dewan pakar, Dr. Tri Candra Apriyanto, Qayuum Amri, SS, Waketum Bidang Komunikasi dan departemen komunikasi, Goldameir Mektania, B.Com Tidak perlu pengantar panjang, langsung berdiskusi mengenai undang undang deforestasi UE yang berdampak gaduh bagi berbagai stakeholder sawit indonesia, khususnya petani sawit.
Membuka diskusi, Duta Besar, Vincent Piket, menjelaskan bahwa pemerintah UE melihat banyaknya pemberitaan yang tidak benar mengenai undang - undang ini, yang menggambarkan UE sebagai pihak yang anti sawit Indonesia. Karenanya, Duta Besar ingin meluruskan informasi ini, khususnya kepada petani sawit Indonesia dan APKASINDO adalah organisasi petani terbesar, oleh karena itu kami menitip pesan ini, ujar nya.
Dalam pertemuan, Henriette menjelaskan bahwa salah satu poin utama dari UU ini "bukan melarang sawit Indonesia masuk ke Uni Eropa, informasi yang beredar harus diluruskan".
“UU ini tidak pernah melarang sawit Indonesia masuk Eropa karena kami butuh sawit. 60% produk pangan di Eropa mengandung minyak sawit,” terang nya diterima Agricom.Id.
“Kami cinta sawit Indonesia terkhusus petani sawit,” lanjut nya.
Yang diminta dari UU ini adalah agar minyak sawit turut menjaga keberlanjutan dengan tidak terlibat dalam aksi deforeatasi cut off date 2020 kebawah.
Dan dengan semangat ini, UE tidak bermaksud mengganggu penghidupan petani sawit karenanya tidak akan mengganggu sejarah deforestasi berkepanjangan dan menetapkan tanggal cut off pada 31 Desember 2020.
“Jadi tanaman yang sebelum 31 Desember 2020 akan lebih mudah masuk pasar UE, karena kami tidak mempermasalahkannya” terang nya.
Ini karena UU baru ini akan meminta administrasi untuk dapat menunjukan dua hal penting, bahwa sawit ini tidak terlibat dalam deforestasi dan legal mulai tahun 2021 ke atas. Itu tegas dan tidak ada embel-embel jadi jangan salah mengartikan.
Pun, tidak ada sanksi hukum atau pelarangan masuk bagi minyak sawit Indonesia bagi sawit yang tidak memenuhi persyaratan. Hanya persyaratan administrasinya jadi lebih banyak. “Jadi tidak ada pelarangan sama sekali,” tegas Henriette.
Menyambung penjelasan Henriette, Dubes Vincent meminta agar APKASINDO menyampaikan informasi klarifikasi ini kepada petani sawit Indonesia karena sesungguhnya EU sangat peduli terhadap sawit Indonesia.
“Kami butuh sawit. Kami tidak pernah melarang dan kami ingin berkolaborasi dengan petani Indonesia agar bersama membuat sawit keberlanjutan untuk mensiasati perubahan iklim,” terang Vincet.
Kami datang bertamu ke Kantor Pusat APKASINDO, karena kami mengetahui APKASINDO sangat besar dan memiliki anggota di hampir seluruh Indonesia dan kami menitip salam untuk mereka" ujar Vincent.
Gulat Manurung mengapresiasi dan menaruh hormat pada Dubes Vincent atas insiatif untuk menemui APKASINDO dan berdiskusi lebih lanjut.
Kami akan menyampaikan klarifikasi ini dan kami sangat terhormat atas kunjungan strategis ini. Kami berharap kedepannya UE lebih terbuka kepada kami petani sawit.
Menyimak poin-poin materi rapat yang sudah disiapkan oleh Ubes UE, semakin meyakinkan saya untuk kedepannya "intinya kedua belah pihak jangan saling merugikan dan UE harus berjanji untuk tidak dikriminatif".
Pesan ini harus anda sampaikan kepada Parlemen UE "bahwa Petani sawit sangat bergantung kehidupan rumah tangganya kepada sawit dan 17 juta petani sawit dan pekerja sawit ada disana" kata Gulat.
Jadi kalau UU ini berpotensi merugikan kami, tentu kami akan menolak dan Pemerintahan Indonesia pasti berpihak kepada kami petani sawit, terang Gulat dikutip Agricom.Id.
Kami petani sepakat tidak ada lagi deforestasi dan untuk itu kami petani sawit sangat bersemangat untuk replating (program Presiden Jokowi melalui PSR) karena PSR itu rohnya adalah "intensifikasi" bukan ekstensifikasi, jelas Gulat.
Secara pemaparan tentang isi UU tersebut tampaknya sudah bagus semoga tidak ada "udang dibalek tempurung", lanjut Gulat.
Disatu sisi, pengakuan 27 negara-negara UE ini (menghapus sejarah 2020 ke bawah) harus menjadi momen Pemerintah menyelesaikan masalah utama petani sawit yaitu "klaim kawasan hutan oleh KLHK".
Jadi Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian LHK untuk segera mengambil momen ini untuk cut off juga 2020 ke bawah. "Masak UE sudah menghapus sejarah 2020 ke bawah, malah kita masih berkotak-katik dengan sebutan kawasan hutan yang sudah tidak berhutan ?".
Menjawab statemen Gulat, Dubes UE dengan diplomatis menjawab "bahwa kami sangat senang jika persoalan petani sawit yang utama dapat menjadi perhatian serius Pemerintah Indonesia". Sambil mengakhiri kalimat tagline "bersama kita bisa". (T4)