Debat Keempat Cawapres yang berlangsung pada Senin (21/1/2024) malam di Jakarta. Foto: Tangkapan layar
AGRICOM,JAKARTA – Debat Keempat Capres dan Cawapres yang berlangsung pada Senin (21/1/2024) malam di Jakarta, para kandidat cawapres membahas visi misi pasangan calon terkait pembangunan berkelanjutan, lingkungan hidup, sumber daya alam, energi, pangan, agraria, dan masyarakat adat serta desa.
Namun, sayangnya, dalam debat yang berlangsung selama 2 jam tersebut, semua kandidat tidak berhasil mengidentifikasi krisis iklim sebagai permasalahan yang kompleks dan holistik. Padahal, seharusnya fokus pada kerangka krisis iklim menjadi hal utama, mengingat dampaknya terhadap transisi energi, krisis pangan, dan meningkatnya bencana. Sayangnya, acara debat dipenuhi dengan gimmick dan serangan personal yang minim substansi.
Beberapa program yang diajukan oleh kandidat-kandidat juga ternyata memiliki potensi masalah, namun tidak dibahas lebih lanjut oleh kandidat-kandidat lainnya.
Bahan bakar nabati seperti biodiesel dengan turunan B35 dan B40, misalnya, luput dielaborasi mengenai potensi masalah perebutan CPO untuk energi vs pangan. Sehingga kekhawatiran kelangkaan dan tingginya minyak goreng (CPO untuk pangan) dapat muncul kembali.
Baca juga: Ditjenbun Perkuat Resertifikasi Manajemen ISO 9001:2015
Menurut Direktur Eksekutif Satya Bumi Andi Muttaqien hingga saat ini belum ada rancangan jelas menyoal pembagian CPO untuk kebutuhan energi dan pangan.
“Selama ini harga CPO lebih stabil untuk keperluan energi ketimbang pangan. Maka jangan heran ketika harga minyak goreng menjadi melambung tinggi,” ujar Andi, dikutip dari rilis yang diterima Agricom.id..
Permasalahan biodiesel harus dilihat lebih jauh dari sekadar target bauran energi. Jika pemerintah terus berambisi dengan bauran biodiesel tanpa menyelesaikan konglomerasi industri sawit yang bermain hingga lebih dari 60% membuat pengawasan menjadi sulit dilakukan.
Tanpa memperbaiki tata kelola hilir termasuk membenahi kebijakan dua harga untuk DMO dan ekspor, bukan tidak mungkin ambisi biodiesel justru menewaskan lebih banyak lagi anggota rumah tangga di Indonesia.
Hilirisasi terutama nikel juga terus disebut sebagai program unggulan salah satu kandidat. Hal ini menimbang Indonesia sebagai produsen terbesar nikel di dunia dengan cadangan hingga 21 juta metrik ton.
Andi Muttaqien justru menyebut saat ini tata kelola nikel masih semrawut. Ambisi percepatan transisi energi justru dijadikan ladang bisnis alih alih kepentingan lingkungan dan masyarakat sehingga mengakibatkan eksploitasi yang tidak terkontrol.
Deforestasi dan kerusakan lingkungan akibat tambang nikel juga semakin masif di Indonesia, khususnya di Sulawesi sebagai daerah penghasil cadangan nikel yang utama dan terbesar. Satya Bumi mencatat dari tahun 2001 sampai 2019 deforestasi di Sulawesi mencapai angka seluas 2.049.586 hektar. Deforestasi terbesar terjadi pada tahun 2015 seluas 226.260 hektar, tahun 2016 seluas 190.667 hektar dan tahun 2019 mencapai luasan 159.891 hektar.
“Hilirisasi tidak boleh sampai memberikan kerugian yang akhirnya lebih besar kepada manusia dan alam,” jelas Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien.
Sudah sepatutnya pemerintah, dalam hal ini paslon capres dan cawapres, menawarkan program berbasis etika lingkungan dengan pendekatan ekosentrisme, yakni perlindungan lingkungan dengan melihat seluruh kepentingan ekosistem, alih-alih pendekatan antroposentrisme yang melihat kepentingan manusia sebagai elemen sentral. (A3)