AGRICOM, JAKARTA – Pasar biodiesel di Indonesia mengalami pertumbuhan signifikan sejak kebijakan pencampuran biodiesel dalam solar (biosolar) diberlakukan secara agresif pada 2015. Pemerintah berhasil melaksanakan program B35, yang kini menjadi pijakan untuk terus meningkatkan kadar pencampuran menuju 100% (B100) secara bertahap.
Peneliti Tata Kelola Sawit dan Biodiesel, Wiko Saputra, menyinggung adanya tantangan teknis di lapangan yang menyebabkan stagnasi dalam produksi kelapa sawit. “Untuk mencapai B40, dibutuhkan tambahan 2,5 juta ton minyak sawit mentah (CPO),” ujar Wiko dalam acara Diskusi Keberlanjutan Biodiesel, dengan tema “Mewujudkan Kemitraan Petani Dan Industry Biodiesel Dalam Pengembangan Biodiesel Sawit Untuk Kesejahteraan Petani Sawit“, Kamis (24/10/2024) di Jakarta yang dihadiri Agricom.id.
Menurut Wiko, lebih baik memberdayakan petani sawit untuk mendukung industri biodiesel ini daripada berfokus pada rasionalisasi penurunan ekspor. Dengan kenaikan permintaan biodiesel, kebutuhan CPO terus meningkat. “Dengan asumsi kenaikan permintaan biosolar sebesar 3% per tahun, pada 2035 saat program B60 dijalankan, kebutuhan CPO untuk industri biodiesel dalam negeri akan mencapai 34,35 juta metrik ton (MT),” kata Wiko.
BACA JUGA:
- Perisai Prabowo: Kebijakan B50 Harus Berikan Manfaat Nyata Bagi Petani Sawit
- Diskusi Keberlanjutan Biodiesel: Kemitraan Petani dan Perusahaan Biodiesel Masih Jauh dari Harapan
Potensi besar Indonesia dalam sektor perkebunan sawit swadaya pun ikut menjadi perhatian. Saat ini, Indonesia memiliki sekitar 5,31 juta hektar perkebunan sawit swadaya, yang mampu memproduksi hingga 14,87 juta MT CPO per tahun atau setara dengan 13,91 juta kiloliter biodiesel. Potensi terbesar ini berasal dari perkebunan di Pulau Sumatra dan Kalimantan.
Namun, Wiko menilai bahwa model rantai pasok industri biodiesel saat ini belum memungkinkan petani sawit swadaya untuk mendapatkan nilai tambah yang maksimal. Oleh karena itu, diperlukan model rantai pasok baru yang memungkinkan perkebunan sawit swadaya mensuplai kelapa sawit mereka ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS) mini milik kelompok petani dan langsung mensuplai PT Pertamina sebagai offtaker untuk biodiesel.
Meski begitu, ada sejumlah tantangan besar yang dihadapi. “Banyak kebun sawit swadaya yang produktivitasnya menurun dan membutuhkan peremajaan,” ujar Wiko. Selain itu, aspek kelembagaan petani sawit swadaya masih lemah, dan regulasi terkait perizinan PKS mini juga menjadi hambatan. Kualitas sumber daya manusia (SDM) petani sawit swadaya serta pengetahuan terkait bisnis hilir sawit masih perlu ditingkatkan. Data mengenai petani sawit swadaya, seperti nama dan alamat, juga belum lengkap, sehingga menyulitkan pemerintah dalam memastikan kecukupan lahan, legalitas, dan kesiapan petani dalam mendukung industri biodiesel.
Wiko menekankan pentingnya langkah-langkah strategis untuk memperkuat peran perkebunan sawit swadaya dalam rantai pasok biodiesel. Jika berhasil, hal ini dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi petani dan meningkatkan keberlanjutan industri biodiesel di Indonesia. (A3)