AGRICOM, JAKARTA - Bisnis minyak kelapa sawit berperan signifikan dalam memajukan perekonomian di berbagai wilayah, khususnya di daerah perdesaan yang terpencil. Pengembangan perkebunan kelapa sawit tidak hanya mengoptimalkan potensi lahan, tetapi juga menciptakan dampak sosial-ekonomi yang nyata, yang secara bertahap meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.
Keberadaan perkebunan kelapa sawit di daerah-daerah kecil dan terpinggirkan telah berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Seiring dengan berkembangnya lahan-lahan sawit, masyarakat sekitar pun mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Aktivitas ekonomi, seperti perdagangan lokal, jasa, dan kebutuhan bahan pokok untuk perkebunan, menjadi lebih aktif. Ketika benih unggul sawit mulai berbuah pasir setelah usia tanam 2,5 tahun, aktivitas panen pun dimulai. Setiap bulan, panen buah sawit ini akan memberikan kontribusi langsung pada ekonomi masyarakat setempat.
Mengutip pendapat pakar ekonomi Lincolin Arsyad, pertumbuhan ekonomi suatu daerah akan bergerak maju seiring dengan perubahan struktur ekonomi di dalamnya. Perkembangan ekonomi perkebunan kelapa sawit membawa kenaikan gross domestic product (GDP) dan serapan tenaga kerja di kawasan tersebut, memberikan pengaruh besar terhadap kemakmuran wilayah. Selain itu, bisnis sawit ini juga meningkatkan permintaan barang-barang pendukung, seperti pupuk dan alat-alat pertanian lainnya, yang memperluas peluang bisnis bagi masyarakat lokal.
BACA JUGA: Harga Minyak Sawit Mentah (CPO) di Belawan dan Dumai Naik Menjadi Rp 14.888/kg pada Kamis (31/10)
Sinergi antara perkebunan kelapa sawit dan masyarakat sekitar menjadi kunci keberlanjutan pertumbuhan. Perkebunan kelapa sawit yang berhasil berkembang turut membangun daerah pedesaan, memberikan manfaat sosial-ekonomi yang berkesinambungan. Dengan fokus pada pembangunan berkelanjutan, pertumbuhan ini tidak hanya mendukung kesejahteraan perusahaan, tetapi juga menciptakan fondasi ekonomi yang kokoh bagi masyarakat sekitar.
Sebagai bagian dari visi pembangunan yang inklusif, pengelolaan perkebunan kelapa sawit akan terus dilakukan dengan mengutamakan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Keberlanjutan bisnis sawit yang bersinergi dengan masyarakat menjadi komitmen dalam mendukung perekonomian pedesaan yang lebih baik dan lebih sejahtera.
Dedi Junaedi, Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPPI), mengungkapkan pentingnya kolaborasi berbagai pihak untuk memajukan sektor kelapa sawit dan mendukung kesejahteraan petani, khususnya di daerah transmigrasi, serta menekankan peran sawit sebagai pendorong ekonomi regional yang signifikan.
Dedi menjelaskan bahwa sektor kelapa sawit telah menjadi salah satu sumber utama pendapatan dan lapangan pekerjaan di banyak wilayah, serta penghasil devisa terbesar kedua setelah batu bara. Namun, di balik potensi ekonominya, industri sawit menghadapi tantangan dalam hal produktivitas, legalitas,
dan ketahanan energi. Pemerintah saat ini berupaya memperkuat sektor ini melalui penerapan program biodiesel B50 serta mendukung peremajaan sawit rakyat.
Menurut Dedi, salah satu kendala utama yang dihadapi petani sawit swadaya adalah kurangnya akses terhadap benih unggul dan sarana budidaya yang berkelanjutan. “Kualitas bibit sangat memengaruhi hasil panen, dan sayangnya banyak petani yang menggunakan bibit aspal atau kurang berkualitas,” ujarnya, saat membuka acara FGD SAWIT BERKELANJUTAN VOL 16, bertajuk “Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Menumbuhkan Ekonomi Masyarakat Perdesaan”, yang diadakan media InfoSAWIT yang didukung BPDPKS, Jumat (1/11/2024) di Jakarta yang dihadiri Agricom.id.
Ia juga menekankan bahwa investasi awal yang tinggi pada perkebunan sawit dapat menjadi beban bagi petani sawit, terutama jika benih yang ditanam tidak produktif.
GPPI juga mendorong sertifikasi berkelanjutan seperti RSPO dan ISPO sebagai standar untuk memasuki pasar ekspor dan menjamin harga jual yang lebih baik. Namun, tantangan pendanaan masih menghambat petani swadaya untuk memenuhi standar sertifikasi tersebut. Dedi menyatakan, “Saat ini pendampingan dari pemerintah sangat penting untuk memperkuat kelembagaan dan membekali petani dengan pengetahuan serta praktik budidaya terbaik.”
BACA JUGA: Wamendag Dyah Roro Esti Terima Kunjungan Komisioner Uni Eropa untuk Pertanian
Selain itu, GPPI mendorong pembentukan kelembagaan koperasi di kalangan petani sawit agar mereka dapat memiliki posisi tawar yang lebih baik dalam menjual hasil panen. "Petani sawit swadaya perlu naik kelas, bukan hanya sebagai penjual tandan buah segar, tapi juga harus mampu menghasilkan produk olahan sawit yang memiliki nilai tambah," tambah Dedi.
Kedepan GPPI berencana mempercepat pelaksanaan program sertifikasi karbon untuk perkebunan sawit, yang diharapkan akan mendukung target pemerintah dalam pengurangan emisi karbon nasional. Dedi menutup pernyataannya dengan menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah, serta seluruh pemangku kepentingan untuk memastikan keberlanjutan sektor sawit. GPPI berharap upaya ini akan meningkatkan kesejahteraan petani sawit dan menjadikan kelapa sawit Indonesia sebagai komoditas unggulan yang berdaya saing global.
Sementara, Ignatius Ery Kurniawan, Pemimpin Redaksi InfoSAWIT, menyinggung perkembangan sektor kelapa sawit yang dinilai telah memberikan dampak besar pada perekonomian daerah terpencil di Indonesia. Menurutnya, keberadaan perkebunan sawit telah mengubah wilayah-wilayah pedesaan menjadi desa maju yang bahkan bisa berkembang menjadi kota atau provinsi, meski perjalanan ini membutuhkan waktu puluhan tahun.
“Keberpihakan sektor sawit hari ini bukan lagi sekadar membangun kebun, tetapi juga menciptakan dampak positif bagi ekonomi masyarakat,” ujar Ery. Saat ini, dari 38 provinsi di Indonesia, sebagian besar memiliki pendapatan daerah yang didukung oleh sektor kelapa sawit. Hal ini, lanjut Ery, memperlihatkan bahwa sektor sawit memiliki peran strategis dalam memajukan daerah.
Ia menekankan pentingnya peran pemerintah daerah dalam membantu petani, terutama dalam membentuk kelembagaan seperti koperasi. Dukungan ini diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, mengingat banyak petani masih bekerja secara individu tanpa dukungan kelembagaan yang kuat.
Selain pembentukan kelembagaan, Ery menyoroti kebutuhan besar akan pendanaan untuk peremajaan kebun sawit rakyat, terutama melalui subsidi dari BPDP-KS. Dukungan ini dinilai penting untuk meningkatkan produktivitas kebun sawit dan membantu petani menjalankan praktik budidaya yang berkelanjutan. Ia menyebut bahwa praktik budidaya sawit rakyat saat ini masih jauh dari standar keberlanjutan, sehingga membutuhkan bimbingan dan dukungan finansial agar petani bisa mencapai produktivitas maksimal.
BACA JUGA: Kemendag Tegaskan Komitmen Jaga Kelancaran Tata Niaga Pangan
Ia juga mengungkapkan kebutuhan akan sarana dan prasarana bagi petani sawit. Menurutnya, subsidi sarana dan prasarana seperti jalan, jembatan, serta fasilitas lainnya, sangat dibutuhkan untuk menunjang kegiatan budidaya dan memperbaiki akses bagi para petani sawit di daerah terpencil.
Dalam kesempatan tersebut, Ery menekankan pentingnya kemitraan yang seimbang antara petani dan perusahaan perkebunan sawit. "Kemitraan harus dilakukan secara transparan dan saling menguntungkan. Tanpa itu, akan ada banyak kendala yang dihadapi di lapangan," ujarnya. Ery berharap agar kemitraan ini dapat memperkuat posisi petani dan perusahaan dalam menjalankan usaha kelapa sawit yang berkelanjutan.
Di tengah meningkatnya kebutuhan pasar ekspor, Ery juga menggarisbawahi pentingnya sertifikasi berkelanjutan, seperti ISPO dan RSPO, sebagai prasyarat utama. Sertifikasi ini tak hanya membantu memperbaiki praktik budidaya kelapa sawit tetapi juga meningkatkan nilai bisnis produk sawit di pasar global.
“Untuk menjual produk sawit ke luar negeri, kita harus memiliki sertifikasi berkelanjutan, baik ISPO, RSPO, maupun yang lainnya,” jelas Ery. Ia berharap bahwa dengan penerapan sertifikasi ini, petani dapat meningkatkan kesejahteraan mereka melalui akses pasar yang lebih luas.
Menariknya, dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah petani sawit telah menerapkan pola tanam interkultur dengan menanam komoditas lain seperti jagung dan cabai di sekitar kebun sawit. Pola ini, menurut Ery, telah membantu masyarakat sekitar dalam memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari serta meningkatkan pendapatan mereka.
Ery menyimpulkan bahwa kesejahteraan petani sawit bukan sekadar impian, namun dapat dicapai dengan dukungan dan kolaborasi dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, perusahaan, dan lembaga pendukung lainnya. “Dengan kolaborasi, kita bisa mewujudkan budidaya sawit yang terbaik dan berkelanjutan,” tutupnya.
Marselinus Andry dari Departemen Advokasi Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), menyatakan pentingnya penguatan legalitas dan kelembagaan untuk mendukung petani sawit skala kecil. Menurutnya, sebagian besar petani sawit swadaya di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala terkait kepemilikan lahan dan posisi tawar dalam rantai pasok sawit. Dengan masih banyaknya petani yang hanya memiliki Surat Keterangan Tanah (SKT), SPKS berupaya membantu para petani untuk mendapatkan hak kepemilikan yang lebih kuat melalui pendataan dan sertifikasi lahan.
Marselinus menguraikan lima tahapan yang diinisiasi SPKS untuk membantu petani sawit. Pertama, SPKS melakukan pendataan dan pemetaan kebun sawit milik petani dengan memanfaatkan teknologi GPS dan smartphone. Data ini kemudian disimpan dalam server untuk pengolahan dan analisis lebih lanjut. Hasil dari analisis ini akan memberi gambaran mengenai sebaran lahan sawit rakyat, legalitas lahan, serta produktivitas kebun.
Setelah tahap pendataan, SPKS mendampingi petani dalam pengurusan legalitas lahan dan legalitas usaha, seperti Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) yang penting untuk memperoleh hak kepemilikan yang lebih formal. "Kami juga membantu mereka membangun kelembagaan seperti koperasi, yang dapat memperkuat posisi tawar mereka dalam rantai pasok industri sawit," jelas Marselinus.
Pelatihan menjadi bagian penting dalam tahap berikutnya. SPKS bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk akademisi dan peneliti, untuk menyediakan materi pelatihan teknis dan manajemen kelembagaan. “Pelatihan ini akan membantu petani memahami tata kelola ekonomi dan hukum,
sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam koperasi atau lembaga yang mereka bentuk,” tambah Marselinus. Pelatihan juga mencakup peningkatan kapasitas, paralegal, serta pengenalan praktik keberlanjutan yang relevan dengan sertifikasi sawit berkelanjutan.
Marselinus menyampaikan bahwa sertifikasi seperti RSPO merupakan tujuan jangka panjang bagi koperasi yang telah terbentuk. Sejauh ini, SPKS telah membantu lima koperasi memperoleh sertifikasi, dan beberapa koperasi lainnya sedang dalam proses. "Kami menargetkan ada beberapa koperasi di wilayah Sulawesi yang akan mendapatkan sertifikasi pada tahun ini," ungkapnya.
SPKS juga menerapkan pendekatan berbasis konservasi dengan metode High Carbon Stock (HCS) dan High Conservation Value (HCV). Pendekatan ini diterapkan secara partisipatif bersama petani dan masyarakat adat di wilayah Kalimantan, sehingga selain mendukung sertifikasi berkelanjutan, program ini turut melestarikan hutan dan menguatkan posisi tawar petani di pasar global.
Dalam upaya mengintegrasikan petani dengan rantai pasok, SPKS menjalin kolaborasi dengan perusahaan sawit di beberapa kabupaten. Hal ini diharapkan mempermudah petani untuk mengakses pasar secara langsung. Marselinus berharap pemerintah, perusahaan, dan organisasi masyarakat sipil dapat mendukung petani sawit dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada, seperti akses legalitas dan peningkatan kapasitas, untuk mendukung keberlanjutan sektor kelapa sawit di Indonesia.
"Dukungan pemerintah dan pelaku usaha sangat krusial dalam mengembangkan potensi petani sawit skala kecil, terutama dalam mewujudkan tujuan keberlanjutan industri sawit yang mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs)," tutup Marselinus.
Perkuat SDM Sawit
Direktur Politeknik Kelapa Sawit Citra Widya Edukasi (CWE), Nugroho Kristono, menyampaikan pentingnya peran perguruan tinggi dalam membangun sumber daya manusia (SDM) di sektor kelapa sawit. Sebagai satu-satunya politeknik yang berfokus pada industri sawit, CWE kini menjadi pusat pelatihan SDM sawit yang andal, berkat peran aktif para pendirinya yang berdedikasi.
“Politeknik CWE berdiri dengan dukungan kuat dari para pendirinya, yang menginginkan pendidikan berkualitas untuk putra-putri petani dari seluruh Nusantara,” ungkap Nugroho. Saat ini, Politeknik CWE memiliki 970 mahasiswa, dan 98% di antaranya berasal dari keluarga petani sawit dari Sabang hingga Merauke.
Nugroho juga menyinggung peningkatan jumlah kampus dan lembaga pelatihan sawit di Indonesia sejak tahun 2016. Ia mengapresiasi dukungan pemerintah dalam membangun SDM sawit melalui berbagai program kerja sama, termasuk program yang melibatkan 23 kampus pelaksana program pelatihan sawit. Hal ini diharapkan mampu memperkuat keterampilan dan keahlian generasi muda agar siap bersaing di industri kelapa sawit.
Meski demikian, Nugroho mengakui masih ada tantangan, terutama dalam menarik lulusan politeknik kembali ke daerah asal mereka untuk membangun sektor sawit lokal. Banyak lulusan yang diserap oleh perusahaan besar, namun dukungan bagi para alumni untuk mengembangkan usaha sawit bersama keluarga atau koperasi di daerah asal masih minim. “Idealnya, lulusan dapat kembali dan mengembangkan kebun sawit keluarga atau membentuk koperasi, sehingga produktivitas sawit rakyat meningkat,” ujarnya.
Selain itu, ia juga mencatat pentingnya pendampingan bagi para petani sawit untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi kebun mereka. Saat ini, ada sekitar 11 lembaga pelatihan yang membantu petani dalam program Direktorat Jenderal Perkebunan. Namun, jumlah ini dirasa masih kurang dibandingkan dengan kebutuhan yang terus bertambah. Nugroho berharap lebih banyak lembaga pelatihan turut berpartisipasi, sehingga seluruh petani sawit di Indonesia mendapatkan pelatihan agronomis yang memadai.
“Dukungan yang lebih terstruktur dari pemerintah sangat dibutuhkan agar pendidikan dan pelatihan untuk petani sawit bisa optimal. Jika SDM sawit kita baik, produktivitasnya akan meningkat, dan akhirnya berdampak positif bagi kesejahteraan petani serta keberlanjutan industri sawit Indonesia,” jelasnya. (A3)