AGRICOM, JAKARTA - Pentingnya penguatan legalitas dan kelembagaan untuk mendukung petani sawit skala kecil. Menurut Marselinus Andry dari Departemen Advokasi Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), sebagian besar petani sawit swadaya di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala terkait kepemilikan lahan dan posisi tawar dalam rantai pasok sawit. Dengan masih banyaknya petani yang hanya memiliki Surat Keterangan Tanah (SKT), SPKS berupaya membantu para petani untuk mendapatkan hak kepemilikan yang lebih kuat melalui pendataan dan sertifikasi lahan.
Marselinus menguraikan lima tahapan yang diinisiasi SPKS untuk membantu petani sawit. Pertama, SPKS melakukan pendataan dan pemetaan kebun sawit milik petani dengan memanfaatkan teknologi GPS dan smartphone. “Data ini kemudian disimpan dalam server untuk pengolahan dan analisis lebih lanjut. Hasil dari analisis ini akan memberi gambaran mengenai sebaran lahan sawit rakyat, legalitas lahan, serta produktivitas kebun,” ujar Marslinus saat di acara FGD SAWIT BERKELANJUTAN VOL 16, bertajuk “Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Menumbuhkan Ekonomi Masyarakat Perdesaan”, yang diadakan media InfoSAWIT yang didukung BPDPKS, Jumat (1/11/2024) di Jakarta.
BACA JUGA: FGD Sawit Berkelanjutan Vol 16: CWE Perkuat SDM Sawit untuk Peningkatan Produktivitas Lebih Tinggi
Setelah tahap pendataan, SPKS mendampingi petani dalam pengurusan legalitas lahan dan legalitas usaha, seperti Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) yang penting untuk memperoleh hak kepemilikan yang lebih formal. "Kami juga membantu mereka membangun kelembagaan seperti koperasi, yang dapat memperkuat posisi tawar mereka dalam rantai pasok industri sawit," jelas Marselinus.
Pelatihan menjadi bagian penting dalam tahap berikutnya. SPKS bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk akademisi dan peneliti, untuk menyediakan materi pelatihan teknis dan manajemen kelembagaan. “Pelatihan ini akan membantu petani memahami tata kelola ekonomi dan hukum, sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam koperasi atau lembaga yang mereka bentuk,” tambah Marselinus. Pelatihan juga mencakup peningkatan kapasitas, paralegal, serta pengenalan praktik keberlanjutan yang relevan dengan sertifikasi sawit berkelanjutan.
Marselinus menyampaikan bahwa sertifikasi seperti RSPO merupakan tujuan jangka panjang bagi koperasi yang telah terbentuk. Sejauh ini, SPKS telah membantu lima koperasi memperoleh sertifikasi, dan beberapa koperasi lainnya sedang dalam proses. "Kami menargetkan ada beberapa koperasi di wilayah Sulawesi yang akan mendapatkan sertifikasi pada tahun ini," ungkapnya.
BACA JUGA: FGD Sawit Berkelanjutan Vol 16, GPPI: Masih Banyak Petani Sawit Swadaya Gunakan Bibit Sawit Aspal
SPKS juga menerapkan pendekatan berbasis konservasi dengan metode High Carbon Stock (HCS) dan High Conservation Value (HCV). Pendekatan ini diterapkan secara partisipatif bersama petani dan masyarakat adat di wilayah Kalimantan, sehingga selain mendukung sertifikasi berkelanjutan, program ini turut melestarikan hutan dan menguatkan posisi tawar petani di pasar global.
Dalam upaya mengintegrasikan petani dengan rantai pasok, SPKS menjalin kolaborasi dengan perusahaan sawit di beberapa kabupaten. Hal ini diharapkan mempermudah petani untuk mengakses pasar secara langsung. Marselinus berharap pemerintah, perusahaan, dan organisasi masyarakat sipil dapat mendukung petani sawit dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada, seperti akses legalitas dan peningkatan kapasitas, untuk mendukung keberlanjutan sektor kelapa sawit di Indonesia.
"Dukungan pemerintah dan pelaku usaha sangat krusial dalam mengembangkan potensi petani sawit skala kecil, terutama dalam mewujudkan tujuan keberlanjutan industri sawit yang mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs)," tutup Marselinus. (A3)