Sawit Pilar Indonesia Emas 2045: Melalui Swasembada Pangan dan Energi


AGRICOM, JAKARTA - Di tengah ketidakpastian global akibat perubahan iklim, konflik geopolitik, dan krisis pangan-energi, Indonesia justru memiliki kekuatan strategis yang selama ini kerap dipandang sebelah mata, kelapa sawit. Lebih dari sekadar komoditas ekspor, sawit berpotensi menjadi pilar utama dalam mewujudkan swasembada pangan dan energi hijau menuju visi besar Indonesia Emas 2045

Kelapa sawit bukanlah sekadar komoditas ekspor. Lebih dari itu, ia telah menjelma menjadi kekuatan strategis nasional. Selama lebih dari 115 tahun dikembangkan secara komersial di Indonesia, sawit terbukti menjadi andalan dalam menyokong perekonomian, membuka lapangan kerja, serta menjadi penopang devisa negara. Kini, saat Indonesia bersiap menuju visi besar Indonesia Emas 2045, kelapa sawit punya peran kunci untuk mewujudkan swasembada pangan dan energi yang berkelanjutan.

Secara faktual, Indonesia adalah produsen minyak sawit mentah (CPO) terbesar di dunia. Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat, produksi CPO nasional pada 2023 mencapai 47,6 juta ton. Sekitar 60% kebutuhan CPO global disuplai dari Indonesia. Ini bukan angka kecil. Ini adalah kekuatan geopolitik yang semestinya dikelola secara strategis—bukan hanya untuk ekspor, tapi juga sebagai fondasi ketahanan energi dan pangan nasional.

BACA JUGA: 

- Kemenperin Dorong Hilirisasi Kelapa Sawit untuk Ketahanan Nutrisi dan Kesehatan

- Stok Beras Tertinggi Sepanjang Sejarah, Indonesia Kian Tangguh Hadapi Krisis Pangan Global

Langkah pemerintahan Presiden Prabowo yang menginisiasi pendirian PT Agrinas Palma sebagai BUMN pengelola aset kebun sawit nasional patut diapresiasi. Perusahaan ini akan mengelola lahan sawit seluas hampir satu juta hektare, hasil sitaan negara dari perkara korupsi Grup Duta Palma. Alih-alih dibiarkan mangkrak, aset ini dihidupkan kembali untuk menjadi sumber daya produktif. Dengan demikian, negara mengambil alih kendali atas komoditas strategis yang sebelumnya dikuasai swasta, sembari membuka jalan baru menuju kedaulatan ekonomi.

Namun, modal lahan saja tidak cukup. PT Agrinas Palma harus menjadi pionir dalam hilirisasi sawit. Dalam konteks ini, pengembangan industri pangan dan energi berbasis sawit menjadi langkah strategis. CPO bisa diolah menjadi biodiesel—yang kini sudah mencapai campuran B35, dan menuju B50—serta bahan baku oleokimia, kosmetik, hingga pangan. Diversifikasi ini bukan hanya soal nilai tambah, tapi juga soal ketahanan nasional menghadapi gejolak global.

Kita tahu, konflik geopolitik dan krisis iklim telah mengganggu rantai pasok minyak nabati dunia. Produksi minyak kedelai di Argentina menurun akibat kekeringan. Perang Ukraina-Rusia memukul ekspor minyak bunga matahari. Dalam kondisi seperti ini, dunia butuh pasokan yang stabil. Dan Indonesia punya peluang besar untuk mengambil peran itu, bukan hanya sebagai pemasok, tetapi sebagai pelaku industri yang bernilai tinggi.

Namun untuk itu, kita butuh kepastian hukum dan regulasi yang mendukung. Sayangnya, implementasi Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) masih menyisakan ketidakpastian di sektor perkebunan. Banyak perusahaan sawit, baik skala besar maupun petani, masih bergulat dengan persoalan legalitas lahan, tumpang tindih izin, dan lambannya penerbitan Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU). Padahal, HGU adalah dokumen krusial yang menentukan keberlangsungan usaha kebun sawit.

Jika pemerintah ingin mendorong investasi dan pengelolaan sawit yang lebih baik, maka kepastian hukum harus menjadi prioritas. Penegakan hukum terhadap pelanggaran masa lalu harus tetap dijalankan, namun tidak dengan pendekatan represif semata. Perusahaan dan petani yang ingin patuh harus diberi ruang untuk menyelesaikan persoalan legalitas secara terukur dan adil. Pemerintah harus menjadi fasilitator penyelesaian, bukan sekadar penghukum.

Penting disadari, bahwa mayoritas kebun sawit di Indonesia—sekitar 42%—dikelola oleh petani swadaya dan plasma. Ini bukan soal korporasi semata. Ini adalah soal penghidupan jutaan rakyat. Oleh karena itu, penguatan kelembagaan petani, akses terhadap pembiayaan replanting, dan pendampingan teknis juga harus menjadi bagian dari strategi besar pemerintah. Visi Indonesia Emas tidak akan tercapai jika petani ditinggalkan.

Dalam konteks ini, PT Agrinas Palma bisa menjadi laboratorium kebijakan. Sebagai BUMN, ia tidak hanya mengejar profit, tetapi juga membawa misi pembangunan. Perusahaan ini bisa memimpin dalam penerapan prinsip-prinsip keberlanjutan, seperti yang dimandatkan dalam Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Ia juga bisa menjadi motor inovasi: mengembangkan energi hijau dari limbah sawit, memproduksi pangan berbasis sawit, hingga membangun kawasan industri berkelanjutan di sekitar kebun.

Jika semua ini bisa diwujudkan, maka sawit akan menjadi lebih dari sekadar komoditas ekspor. Ia akan menjadi pilar swasembada pangan dan energi nasional. Ia akan menjadi tulang punggung ekonomi hijau Indonesia. Dan ia akan menjadi salah satu penggerak utama menuju Indonesia Emas 2045.

Tentu, semua ini butuh kepemimpinan yang kuat, kolaborasi lintas sektor, dan konsistensi kebijakan. Tapi landasan dasarnya sudah ada: lahan tersedia, pengalaman sudah dimiliki, dan pasar terbuka lebar. Tinggal bagaimana kita mengelola kekuatan ini dengan visi jauh ke depan.

Saat dunia berburu energi hijau dan pangan berkelanjutan, Indonesia punya jawabannya: kelapa sawit. Tinggal bagaimana untuk merawat, mengelola, dan memaksimalkan potensinya untuk generasi mendatang.

Harapan besar akan komitmen Presiden Prabowo dan PT. Agrinas Palma, dapat mendorong Indonesia berdaulat sebagai  produsen dan konsumen sawit dunia, terutama mengambil alih peran EU yang telah memaksakan standar produk dan mekanisme pasar, seperti EUDR.

Oleh: Edi Suhardi – Analis Minyak Sawit Berkelanjutan

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS.


TOP